Empu Keris |
I. Zaman Tangguh Budho (Kuno) :
1. Zaman Kerajaan Purwacarita, Empunya adalah: Mpu Hyang Ramadi, Mpu Iskadi, Mpu Sugati, Mpu Mayang, danMpu Sarpadewa.
2. Zaman Kerajaan Tulis, Empunya adalah: Mpu Sukmahadi.
3. Zaman Kerajaan Medang Kamulan, Empunya adalah: Mpu Bramakedali.
4. Zaman Kerajaan Giling Wesi, Empunya adalah: MpuSaptagati dan Mpu Janggita.
5. Zaman Kerajaan Wirotho, Empunya adalah Mpu Dewayasa I.
6. Zaman Kerajaan Mamenang, Empunya adalah: Mpu Ramayadi.
7. Zaman Kerajaan Pengging Wiraradya, Empunya adalah Mpu Gandawisesa, Mpu wareng dan Mpu Gandawijaya.
8. Zaman Kerajaan Jenggala, Empunya adalah: Mpu Widusarpa dan Mpu Windudibya.
1. Zaman Kerajaan Purwacarita, Empunya adalah: Mpu Hyang Ramadi, Mpu Iskadi, Mpu Sugati, Mpu Mayang, danMpu Sarpadewa.
2. Zaman Kerajaan Tulis, Empunya adalah: Mpu Sukmahadi.
3. Zaman Kerajaan Medang Kamulan, Empunya adalah: Mpu Bramakedali.
4. Zaman Kerajaan Giling Wesi, Empunya adalah: MpuSaptagati dan Mpu Janggita.
5. Zaman Kerajaan Wirotho, Empunya adalah Mpu Dewayasa I.
6. Zaman Kerajaan Mamenang, Empunya adalah: Mpu Ramayadi.
7. Zaman Kerajaan Pengging Wiraradya, Empunya adalah Mpu Gandawisesa, Mpu wareng dan Mpu Gandawijaya.
8. Zaman Kerajaan Jenggala, Empunya adalah: Mpu Widusarpa dan Mpu Windudibya.
II. Tangguh Madya Kuno (Kuno Pertengahan) :
1. Zaman Kerajaan Pajajaran Makukuhan, Empunya adalah: Mpu Srikanekaputra, Mpu Welang, Mpu Cindeamoh, Mpu Handayasangkala, Mpu Dewayani, Mpu Anjani, Mpu Marcu kunda, Mpu Gobang, Mpu Kuwung, Mpu Bayuaji, Mpu Damar jati, Mpuni Sumbro, dan Mpu Anjani.
1. Zaman Kerajaan Pajajaran Makukuhan, Empunya adalah: Mpu Srikanekaputra, Mpu Welang, Mpu Cindeamoh, Mpu Handayasangkala, Mpu Dewayani, Mpu Anjani, Mpu Marcu kunda, Mpu Gobang, Mpu Kuwung, Mpu Bayuaji, Mpu Damar jati, Mpuni Sumbro, dan Mpu Anjani.
III. Tangguh Sepuh Tengahan (Tua Pertengahan) :
1. Zaman Kerajaan Jenggala, Empunya adalah Mpu Sutapasana.
2. Zaman Kerajaan Kediri, Empunya adalah :
3. Zaman Kerajaan Majapahit, Empunya adalah:
4. Zaman Tuban/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Kuwung, Mpu Salahito, Mpu Patuguluh, Mpu Demangan, Mpu Dewarasajati, dan Mpu Bekeljati.
5. Zaman Madura/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Sriloka, Mpu Kaloka, Mpu Kisa, Mpu Akasa, Mpu Lunglungan dan Mpu Kebolungan.
6. Zaman Blambangan/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Bromokendali, Mpu Luwuk, Mpu Kekep, dam Mpu Pitrang.
1. Zaman Kerajaan Jenggala, Empunya adalah Mpu Sutapasana.
2. Zaman Kerajaan Kediri, Empunya adalah :
3. Zaman Kerajaan Majapahit, Empunya adalah:
4. Zaman Tuban/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Kuwung, Mpu Salahito, Mpu Patuguluh, Mpu Demangan, Mpu Dewarasajati, dan Mpu Bekeljati.
5. Zaman Madura/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Sriloka, Mpu Kaloka, Mpu Kisa, Mpu Akasa, Mpu Lunglungan dan Mpu Kebolungan.
6. Zaman Blambangan/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Bromokendali, Mpu Luwuk, Mpu Kekep, dam Mpu Pitrang.
IV. Tangguh Tengahan (Pertengahan) :
1. Zaman Kerajaan Demak, Empunya adalah: Mpu Joko Supo.
2. Zaman Kerajaan Pajang, Empunya adalah Mpu Omyang, Mpu Loo Bang, Mpu Loo Ning, Mpu Cantoka, dan Japan.
3. Zaman Kerajaan Mataram, Empunya adalah: Mpu Tundung, Mpu Setrobanyu, Mpu Loo Ning, Mpu Tunggulmaya, Mpu Teposono, Mpu Kithing, Mpu Warih Anom dan Mpu Madrim.
1. Zaman Kerajaan Demak, Empunya adalah: Mpu Joko Supo.
2. Zaman Kerajaan Pajang, Empunya adalah Mpu Omyang, Mpu Loo Bang, Mpu Loo Ning, Mpu Cantoka, dan Japan.
3. Zaman Kerajaan Mataram, Empunya adalah: Mpu Tundung, Mpu Setrobanyu, Mpu Loo Ning, Mpu Tunggulmaya, Mpu Teposono, Mpu Kithing, Mpu Warih Anom dan Mpu Madrim.
V.Tangguh Nom (Muda) :
1. Zaman Kerajaan Kartasura, Empunya adalah: Mpu Luyung I, Mpu Kasub, Mpu Luyung II, Mpu Hastronoyo, Mpu Sendang Warih, Mpu Truwongso, Mpu Luluguno, Mpu Brojoguno I, dan Mpu Brojoguno II.
2. Zaman Kerajaan/Kasunanan Surakarta, Empunya : Mpu Brojosentiko, Mpu Mangunmalelo, Mpu R.Ng. Karyosukadgo, Mpu Brojokaryo, Mpu Brojoguno III, Mpu Tirtodongso, Mpu Sutowongso, Mpu Japan I, Mpu Japan II, Mpu Singosijoyo, Mpu Jopomontro, Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo III.
1. Zaman Kerajaan Kartasura, Empunya adalah: Mpu Luyung I, Mpu Kasub, Mpu Luyung II, Mpu Hastronoyo, Mpu Sendang Warih, Mpu Truwongso, Mpu Luluguno, Mpu Brojoguno I, dan Mpu Brojoguno II.
2. Zaman Kerajaan/Kasunanan Surakarta, Empunya : Mpu Brojosentiko, Mpu Mangunmalelo, Mpu R.Ng. Karyosukadgo, Mpu Brojokaryo, Mpu Brojoguno III, Mpu Tirtodongso, Mpu Sutowongso, Mpu Japan I, Mpu Japan II, Mpu Singosijoyo, Mpu Jopomontro, Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo III.
Demikian sekilas uraian tentang Mpu-Mpu dan zaman ke zaman.
Keberadaannya sudah tentu menyemarakkan dunia perkerisan selalu sarat
dengan karya-karya baru yang terus berkembang dari zaman ke zaman.
Dari keris-keris lurus hingga keris-keris yang ber luk. Ditambah dengan beraneka macam ragam hias pada bilahannya. Semua menuju ke arah maju, tetapi tidak meninggalkan pakem (standar).
Ragam hias itu berupa kepala hewan yang diletakkan pada gadik misalnya kepala naga, anjing, singabarong, garuda, bahkan puthut. Dengan ditambahkannya bentuk-bentuk itu, sekaligus nama keris itupun berubah, naga siluman, naga kembar, naga sosro, naga temanten, manglar monga, naga tampar, singa barong, nogo kikik, puthut dan lain-lainnya.
Bahkan zaman Kasultanan Mataram sejak masa Pemerintahan Sultan Panembahan Senopati, dunia Perkerisan tampak makmur lagi, lesan mewah tampak pada bilahan keris yang diserasah emas.
Sultan yang arif dan bijaksana itu membagi-bagikan keris sebagai tanda jasa kepada mereka yang berjasa kepada pribadi Sultan maupun kepada Negara dan Bangsa. Tentu saja ragam hiasannya satu dengan lain berbeda walaupun demikian tidak meninggalkan motif aslinya.
Hiasan yang terasah emas itu terletak pada gonjo atau wadhidhang dengan bentuk bunga anggrek atau lung-lungan dari emas. Atau sebantang lidi yang ditempelkan pada gonjo atau dibawah gonjo terdapat Gajah dan Singa terbuat dari emas juga. Tentu saja penciptanya adalah para pakar perkerisan yang kita kenal dengan sebutan Empu.
Bilah keris adalah hasil karya
seniman pembuatnya. Jika keris itu tergolong adikarya (masterpiece),
maka seniman pembuatnya diberi gelar empu. Tetapi keris selain terdiri
atas bilahnya, juga harus dilengkapi dengan berbagai perabot yang
terdiri atas: warangka, ukiran, mendak, selut, dan pendok. Masing-masing
bagian itu juga dibuat oleh para seniman.
Dalam dunia perkerisan, riwayat para empu hampir selalu merupakan kisah yang menarik, dan merupakan legenda yang dituturkan turun menurun. Berikut ini adalah kisah empu-empu ternama dalam sejarah perkerisan di Pulau Jawa.
EMPU PANGERAN SEDAYU
Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi. Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk mengabdi pada Keraton Majapahit.
Menurut cerita rakyat, di masa mudanya bernama Supa Mandrangi. Karena ketekunannya, ia menjadi empu yang mahir. Keris-keris buatannya selalu indah dan disukai banyak orang. Karena itu Supa Mandrangi dan adiknya yang bernama Supagati berniat untuk mengabdi pada Keraton Majapahit.
Kebetulan sewaktu ia datang ke keraton, saat itu Majapahit sedang geger. Pusaka kerajaan yang bernama Kanjeng Kyai Sumelang Gandring hilang dari tempat penyimpanannya di Gedong Pusaka. Ki Supa Mandrangi lalu dipanggil menghadap raja. Sang Raja bertitah, jika Empu Supa sanggup menemukan kembali keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring, maka raja akan berkenan menerima pengabdiannya di Keraton Majapahit, dan akan dianugerahi berbagai macam hadiah. Ki Supa menyatakan kesanggupannya.
Setelah memohon petunjuk Tuhan, empu muda itu bersama adiknya berjalan ke arah timur, sesuai dengan firasat yang diterimanya. Selama dalam perjalanan Ki Supa menggunakan nama Empu Rambang. Nama ‘rambang’ berasal dari kata ‘ngelambrang’ yang artinya berjalan tanpa tujuan yang pasti. Beberapa bulan kemudian sampailai ia di Kadipaten Blambangan. (Sumber lain menyebutkan, sebelum Ki Supa alias Ki Rambang sampai di Blambangan, lebih dulu ia mampir ke Madura untuk menuntut ilmu pada empu Ki Kasa. Tetapi sumber yang lain lagi mengatakan bahwa Ki Kasa juga merupakan nama samaran atau nama alias Ki Supa).
Di Kadipaten Blambangan, lebih dahulu Ki Supa Mandrangi menjumpai Ki Luwuk, empu senior yang menjadi kesayangan Sang Adipati Menak Dadali Putih. Berkat jasa baik Ki Luwuk, akhirnya Ki Supa bisa diterima menghadap adipati itu. Pada saat itu Ki Supa mengaku bernama Pitrang, dan menyatakan ingin mengabdi pada Sang Adipati.
Ketika beberapa waktu kemudian Adipati Blambangan tahu hasil kerjanya,
ia menyuruh Ki Pitrang membuat putran (duplikat) sebilah keris lurus
yang indah. Setelah mengamati keris yang harus dibuatkan duplikatnya
itu, Ki Pitrang segera tahu bahwa itulah keris Kanjeng Kyai Sumelang
Gandring yang hilang dari Kerajaan Majapahit.
Ki Pitrang alias Ki Supa menyanggupi membuat putran keris itu dalam
waktu 40 hari, dengan satu syarat, yaitu agar selama ia membuat keris
putran itu, tidak seorang pun boleh memasuki besalen -nya. Adipati
Blambangan menyanggupi syarat itu, bahkan ia akan menempatkan beberapa
prajurit di sekitar besalen empu Pitrang, agar jangan ada orang yang
masuk mengganggu kerjanya.
Di besalen-nya, Ki Supa bekerja hanya dibantu oleh adiknya, Ki Supagati,
yang bertindak sebagai panjak-nya. Dalam waktu 40 hari itu Ki Supa
bukan membuat sebilah, melainkan dua bilah keris putran, yang bentuk dan
rupanya sama benar dengan keris Kanjeng Kyai Sumelang Gandring.
Setelah pekerjaan itu selesai, KK Sumelang Gandring yang aseli disembunyikan di balik kain di paha kirinya. Sedangkan kedua keris putran yang dibuatnya dibahwa menghadap Adipati Blambangan, dan diakukan sebagai keris yang putran dan yang aseli.
Setelah pekerjaan itu selesai, KK Sumelang Gandring yang aseli disembunyikan di balik kain di paha kirinya. Sedangkan kedua keris putran yang dibuatnya dibahwa menghadap Adipati Blambangan, dan diakukan sebagai keris yang putran dan yang aseli.
Karena sama bagusnya, sama indahnya, Adipati Blambangan tidak bisa lagi
membedakan kedua keris itu. Mana yang aseli, dan mana yang putran.
Padahal sebenarnya kedua keris itu merupakan keris putran.
Adipati Dadali Putih amat gembira melihat hasil karya Empu Pitrang. Karenanya, empu muda itu lalu dinikahkan dengan salah seorang adik perempuannya, dan diberi banyak hadiah.
Adipati Dadali Putih amat gembira melihat hasil karya Empu Pitrang. Karenanya, empu muda itu lalu dinikahkan dengan salah seorang adik perempuannya, dan diberi banyak hadiah.
Beberapa bulan kemudian Empu Pitrang berpamitan hendak pulang ke
Majapahit. Ia berpesan pada istrinya yang sudah hamil, agar jika anaknya
lahir kelak, jika laki-laki, agar diberi nama Jaka Sura. Setelah cukup
besar, agar anak itu disuruh menyusulnya ke Majapahit.
Betapa gembira Raja Majapahit ketika ternyata Ki Supa berhasil menemukan
dan mengembalikan keris pusaka keraton, Kanjeng Kyai Sumelang Gandring.
Karena dianggap berjasa besar bagi kerajaan, Empu Ki Supa Mandrangi
kemudian dinikahkan dengan salah seorang putrinya dan diangkat menjadi
pangeran, serta diberi tanah perdikan (bebas pajak, otonom) di daerah
Sedayu. Maka sejak itu Ki Supa lebih dikenal sebagai Empu Pangeran
Sedayu. Itu pula sebabnya, mengapa keris buatan Ki Supa hampir serupa
dengan keris buatan Pangeran Sedayu.
Walaupun telah hidup mulia sebagai pangeran dan kaya raya berkat
kedududkannya sebagai penguasa tanah perdikan, Pangeran Sedayu masih
tetap membuat keris. Bahkan keris buatannya makin indah, makin anggun.
Adapun keris buatan Pangeran Sedayu dapat ditandai dengan mengamati ciri-ciri sebagai berikut:
Ganjanya datar atau ganja wuwung, gulu meled-nya berukuran sedang, tetapi penampilannya memberi kesan kekar dan kokoh. Buntut cecak-nya berbentuk ambuntut urang atau mekrok. Jika membuat keris luk, maka loknya tergolong luk yang rengkol, atau sarpa lumampah.
Adapun keris buatan Pangeran Sedayu dapat ditandai dengan mengamati ciri-ciri sebagai berikut:
Ganjanya datar atau ganja wuwung, gulu meled-nya berukuran sedang, tetapi penampilannya memberi kesan kekar dan kokoh. Buntut cecak-nya berbentuk ambuntut urang atau mekrok. Jika membuat keris luk, maka loknya tergolong luk yang rengkol, atau sarpa lumampah.
Posisi bilah pada ganja agak tunduk, tidak berkesan galak, tetapi anggun
berwibawa. Kembang kacang-nya dibuat ramping nggelung wayang.
Sogokan-nya agak melengkung di bagian ujung, menyerupai paruh burung.
Janur-nya serupa lidi. Tikel alis-nya tergurat jelas. Begitu pula ron
da-nya juga dibuat jelas.
Keris buatan Pangeran Sedayu selalu matang tempaan, besinya berwarna
hitam kebiruan, nyabak, dan berkesan basah. Pamornya lumer pandes dan
hampir selalu merupakan pamor tiban. Bahkan terkadang tanpa pamor sama
sekali, yakni yang disebut keris kelengan. Besi keris tangguh Pangeran
Sedayu ini demikian prima, tahan karat, bahkan banyak di antaranya cukup
diwarangi lima tahun sekali.
Secara keseluruhan penampilan keris buatan Pangeran Sedayu membawakan
karakter seorang ksatria yang anggun, berwibawa, tetapi tidak galak,
wingit, tetapi menyenangkan.
Pendek kata, segalanya dibuat serasi. Seluruh bagian keris termasuk
ricikan-nya digarap dengan cermat, rapi, ayu, dan sempurna. Begitu
rapinya keris buatan Pangeran Sedayu, sampai sampai tepi bagian
sogokan-nya berkesan tajam. Oleh kebanyakan pecinta keris, buatan
Pangeran Sedayu dianggap sebagai keris yang paling sempurna dari semua
keris yang ada.
Salah satu tanda yang mencolok dari keris buatan Empu Pangeran Sedayu
adalah besinya yang selalu merupakan jenis pilihan, dan matang wasuhan.
Selain tetap berkarya sebagai empu, Pangeran Sedayu juga mendidik
orang-orang di daerahnya yang berminat belajar menjadi empu. Mula-mula
mereka dijadikan panjak, dan setelah mahir disuruh membuat keris
sendiri. Akhirnya para panjak itu pun dapat mandiri bekerja sebagai
empu. Hasil karya mereka oleh orang yang hidup masa kini disebut keris
Panjak Sedayu, yang kualitasnya hampir menyamai keris buatan Pangeran
Sedayu.
JAKA SURA
Disebut pula Empu Adipati Jenu, sebuah wilayah dekat Jipang di daerah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Ia diperkirakan hidup menjelang akhir zaman Majapahit. Keris buatannya dapat ditandai dengan memperhatikan ciri-ciri sebagai berikut :
Disebut pula Empu Adipati Jenu, sebuah wilayah dekat Jipang di daerah perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Ia diperkirakan hidup menjelang akhir zaman Majapahit. Keris buatannya dapat ditandai dengan memperhatikan ciri-ciri sebagai berikut :
- Ganjanya rata, gulu meled-nya sempit, sirah cecak-nya lonjong. Kalalu membuat kembang kacang bentuknya kokoh bagaikan kuku bima, blumbangan-nya dalam, guratan tikel alis-nya jelas, sogokan-nya panjang, janurnya meruncing di ujungnya. Kalau Empu Jaka Sura membuat ron da, bentuknya jelas dan runcing ujungnya.
- Bilah keris buatan Empu Jaka Sura agak tebal, penampilannya meyakinkan. Kalau membuat pamor ruwet (muyeg – Bhs. Jawa). Secara keseluruhan keris buatan Empu Jaka Sura menampilkan karakter berwibawa, terampil, gagah, dan meyakinkan.
Kakak Jaka Supa
Jaka Sura sesungguhnya adalah kakak tiri Empu Jaka Supa, sedangkan ayahnya bernama Supa Mandrangi yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Sedayu. Ia lahir di Blambangan, ibunya adalah putri bangsawan kerabat Adipati Blambangan.
Jaka Sura sesungguhnya adalah kakak tiri Empu Jaka Supa, sedangkan ayahnya bernama Supa Mandrangi yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Sedayu. Ia lahir di Blambangan, ibunya adalah putri bangsawan kerabat Adipati Blambangan.
Ketika menjelang remaja, Jaka Sura bertanya pada ibunya, siapa dan
dimana ayahnya. Si ibu mengatakan, ayah Jaka Sura adalah seorang empu
yang pernah mengabdi pada Kadipaten Blambangan. Sebelum Jaka Sura lahir,
sang Ayah harus kembali ke Majapahit. Sebelum pergi sang Ayah berpesan,
agar jika anak yang lahir nanti laki-laki, diberi nama Jaka Sura. Dan,
kalau anak itu sudah dewasa, agar pergi menyusulnya ke Majapahit.
Sesudah mendengar penjelasan dari ibunya, Jaka Sura lalu belajar membuat
keris. Ia banyak sekali membuat keris sajen – yang biasanya dibutuhkan
oleh para petani masa itu untuk sesaji sawahnya. Keris sajen dalam
jumlah besar itulah yang dibawanya sebagai bekal perjalanan ke
Majapahit. Agar lebih mudah membawanya, keris sajen yang ukurannya cuma
sejengkal itu dilubangi pesi-nya, seperti lubang jarum jahit tangan.
Pada lubang itu dimasukkan tali. Cara ini, menurut bahasa Jawa disebut
direntengi.
Sepanjang perjalanan dari Blambangan ke Majapahit, ia banyak bertanya
pada petani yang dijumpainya, manakah arah jalan menuju Majapahit.
Sebagai terima kasih atas bantuannya menunjukkan arah, ia menghadiahkan
keris sajen buatannya pada para petani itu.
Dulu, para petani umumnya percaya, tuah keris sajen karya Empu Jaka Sura
ini berkhasiat untuk menyuburkan tanaman dan menangkal serangan hama
tanaman. Bahkan sampai sekarang (akhir abad ke-20) sebagian petani di
Jawa Tengah dan Jawa Timur masih mempercayai hal tersebut.
Menjelang sampai di Ibukota Majapahit, Jaka Sura menghentikan
perjalanannya untuk membuat sebilah pedang. Rencananya pedang itu akan
dijadikan buah tangan untuk ayahnya, agar ayahnya tahu bahwa ia juga
mewarisi bakat menjadi empu.
Sesampainya di Majapahit Jaka Sura ternyata ditolak ketika hendak masuk
ke keraton. Penjelasan yang diberikan oleh empu muda itu tidak
dihiraukan oleh para prajurit penjaga pintu gerbang. Karena kesal Jaka
Sura lalu menghantamkan pedang buatannya pada pintu gerbang itu sehingga
pecah berantakan. Keributan itu menyebabkan Raja Majapahit keluar dan
menanyakan apa yang terjadi.
Sesudah mendengar laporan dari prajurit penjaga dan juga dari Jakasura,
raja itu memberi tahu bahwa ayahnya telah diangkat menjadi Pangeran, dan
tinggal di daerah Sedayu. Setelah mendapat penjelasan itu Jaka Sura
lalu mohon diri dan segera berangkat ke Sedayu. Sang Raja juga menugasi
Empu Salahita sebagai penunjuk jalan.
Pedang yang ditinggalkan Jaka Sura kemudian dijadikan pusaka Kerajaan
Majapahit, dan diberi nama Kanjeng Kyai Lawang. Kata lawang artinya
pintu, karena mengingat bahwa kesaktian pedang itu telah menghancurkan
pintu gerbang Majapahit. Kini, Kyai Lawang menjadi salah satu pusaka
Keraton Kasunanan Surakarta.
Sesampainya di Sedayu, Empu Salahita langsung membawa Jaka Sura ke
besalen (bengkel kerja) milik Pangeran Sedayu, bukan ke rumahnya, karena
mengira sang pangeran sedang berada di besalen-nya. Waktu itu di
besalen itu para panjak sedang ramai bekerja di bawah pimpinan Empu Ki
Jebat, karena Pangeran Sedayu sedang melakukan tapa brata.
Setelah Jaka Sura diperkenalkan dengan Ki Jebat, tangan kanan Pangeran
Sedayu itu bercerita bahwa sang pangeran saat itu sedang gundah hatinya.
Soalnya, Pangeran Sedayu mendapat perintah dari raja untuk membuat
keris dapur baru yang akan digunakan sebagai pusaka andalan Majapahit,
karena pusaka yang terdahulu, yaitu Kanjeng Kyai Sumelang Gandring,
pernah dicuri oleh Adipati Blambangan.
Sudah berhari-hari Pangeran Sedayu melakukan tapa brata, tetapi bentuk dapur keris yang baru itu belum juga terbayangkan.
Sudah berhari-hari Pangeran Sedayu melakukan tapa brata, tetapi bentuk dapur keris yang baru itu belum juga terbayangkan.
Setelah mendengar penjelasan Ki Jebat, Jaka Sura segera mengeluarkan
besi sisa peninggalan ayahnya ketika di Blambangan dulu. Besi sisa itu
lalu dibakarnya di perapen, dan kemudian ditempanya. Tanpa lelah ia
terus bekerja, sehingga akhirnya jadilah sebuah keris dengan dapur baru
yang indah. Semua orang yang menyaksikan di besalen itu kagum.
Ki Jebat lalu bertanya pada Jaka Sura, dapur apakah keris yang baru
dibuatnya itu. Jaka Sura mengatakan, tidak tahu karena ia hanya bekerja
berdasarkan ilham yang muncul tiba-tiba saat itu. Setelah menyerahkan
keris itu pada Ki Jebat, Jaka Sura lalu pergi ke kali untuk membersihkan
diri.
Sementara itu Pangeran Sedayu datang ke besalen dengan wajah muram. Ia
masih merasa sedih karena belum juga mendapat ilham mengenai dapur keris
yang akan dibuat. Saat itulah Ki Jebat memperlihatkan keris buatan Jaka
Sura.
Betapa gembira hati Pangeran Sedayu melihat keris yang indah itu. Ia
bertambah gembira lagi ketika tahu bahwa yang membuatnya adalah Jaka
Sura, anaknya sendiri, yang lahir setelah ia meninggalkan Blambangan.
Pangeran Sedayu yakin, Sang Raja tentu akan berkenan menerima keris indah itu sebagai pusaka keraton. Karena itu ia segera mengajak anaknya menghadap raja di Keraton Majapahit.
Pangeran Sedayu yakin, Sang Raja tentu akan berkenan menerima keris indah itu sebagai pusaka keraton. Karena itu ia segera mengajak anaknya menghadap raja di Keraton Majapahit.
Benarlah dugaan Pangeran Sedayu. Raja amat senang dengan keris itu,
tetapi juga bingung ketika Pangeran Sedayu dan Jaka Sura memintakan nama
bagi dapur keris baru itu. Akhirnya, setelah berpikir sejenak, raja
menamakan dapur keris itu: Kanjeng Kyai Sengkelat.
Nama Sengkelat berasal dari kata ‘sengkel’ yang artinya bingung dan
kesal karena kehabisan akal. Saat itu raja Majapahit memang sedang
kehabisan akal untuk mencarikan nama dapur yang merupakan perpaduan
antara keris dapur Carita dengan dapur Parung itu.
Pangeran Sedayu lalu membawanya menghadap raja, untuk memohon agar Jaka
Sura diperkenankan mengabdi pada kerajaan. Permohonan dikabulkan, dan
karena keris-keris hasil karyanya memuaskan raja, beberapa tahun
kemudian Jaka Sura dianugerahi tanah perdikan, yaitu tanah bebas pajak,
di daerah Jenu. Selain itu Jaka Sura juga diangkat sebagai adipati di
daerah itu. Maka, Jaka Sura kemudian lebih dikenal sebagai Empu Adipati
Jenu.
Banyak penggemar keris yang mengira bahwa hasil karya Empu Jaka Sura
hanya berupa keris sajen. Padahal keris sajen itu hanyalah keris yang
dibuat untuk petani guna keperluan sesaji sawah mereka.
Empu Ki Jigja
Terkenal sebagai salah seorang empu pada zaman Kerajaan Majapahit. Ia adalah anak dari Empu Singkir alias Empu Angga, empu terkenal dari Pajajaran. Adiknya, Ki Empu Surawisesa juga menjadi empu, tetapi tidak bekerja bagi Kerajaan Majapahit, melainkan untuk Kadipaten Blambangan. Menurut buku-buku kuno, jari jempol tangan kirinya berwujud kepala ular.
Terkenal sebagai salah seorang empu pada zaman Kerajaan Majapahit. Ia adalah anak dari Empu Singkir alias Empu Angga, empu terkenal dari Pajajaran. Adiknya, Ki Empu Surawisesa juga menjadi empu, tetapi tidak bekerja bagi Kerajaan Majapahit, melainkan untuk Kadipaten Blambangan. Menurut buku-buku kuno, jari jempol tangan kirinya berwujud kepala ular.
Keris buatannya tidak banyak, tetapi semuanya merupakan keris indah dan sakti.
Tanda-tanda keris buatan Empu Jigja adalah, panjang bilahnya sedang
(menurut ukuran rata-rata keris tangguh Majapahit), tetapi menampilkan
kesan kekar, namun luwes. Sogokan dan blumbangan-nya dalam, kembang
kacang-nya kokoh. Greneng atau ri pandan keris buatannya jelas dan
relatif besar.
Kadang-kadang, kalau membuat kembang kacang Empu Jigja ‘berani’ keluar
dari pakem. Beberapa keris yang menurut pakem memakai kembang kacang
biasa, oleh Empu Jigja dibuat kembang kacang pogok. Walaupun demikian,
keris yang seperti itu tetap saja manis dan serasi.
Besi keris buatan Empu Jigja ada dua macam. Yang pertama besi itu
berkesan kering dan madas. Warna besi itu hijau kecoklatan (serupa
tlethong, warna tahi kerbau). Jenis besi ini amat sukar termakan karat.
Dan, bilamana diputihkan, dibersihkan sebelum diwarangi, besi keris yang
kehijauan itu berbau ramuan rempah wangi jamu.
Sedangkan jenis besi yang kedua yang digunakan Empu Jigja adalah yang
berwarna hitam ngelar glatik, Nglugutnglugut, pamornya ngawat ngembang
bakung.
Empu Modin
Adalah nama lain dari Empu Bekeljati, adalah seorang empu dari daerah Tuban yang hidup pada akhir zaman Majapahit.
Adalah nama lain dari Empu Bekeljati, adalah seorang empu dari daerah Tuban yang hidup pada akhir zaman Majapahit.
Keris hasil karyanya berukuran sedang panjangnya, tetapi agak tebal dan
lebar. Dibandingkan dengan keris tangguh Tuban lainnya, karya empu Modin
lebih tunduk ke depan. Besinya tampak keras dan kenyal, berwarna
keabu-abuan, memberi kesan ‘mentah’. Pamor yang sering digunakan adalah
Wos Wutah dan Ngulit Semangka.
Keris buatan Empu Modin kebanyakan merupakan keris lurus, dengan dapur
Tilam Upih atau Brojol. Kalau membuat keris luk, maka luknya kemba.
Kesan penampilan keris itu keras dan lugas.
Pengikut Sunan Bonang
Tentang mengapa Empu Bekeljati kemudian lebih populer dengan sebutan Empu Modin, manuskrip Serat Pratelan Bab Duwung yang ditulis R. Moestopo Pringgohardjo pada tahun 1961, menyebutkan: Pada saat Empu Bekeljati berkarya, agama Islam baru mulai berkembang di daerah tempat tinggalnya. Yang menjadi pemimpin mesjid Tuban di kala itu adalah Sunan Bonang, yang bukan hanya dikenal sebagai ulama, juga sebagai orang yang memiliki banyak kesaktian.
Tentang mengapa Empu Bekeljati kemudian lebih populer dengan sebutan Empu Modin, manuskrip Serat Pratelan Bab Duwung yang ditulis R. Moestopo Pringgohardjo pada tahun 1961, menyebutkan: Pada saat Empu Bekeljati berkarya, agama Islam baru mulai berkembang di daerah tempat tinggalnya. Yang menjadi pemimpin mesjid Tuban di kala itu adalah Sunan Bonang, yang bukan hanya dikenal sebagai ulama, juga sebagai orang yang memiliki banyak kesaktian.
Empu Bekeljati yang semula beragama Hindu, kemudian menjadi salah
seorang pengikut dan murid Sunan Bonang. Karena ketekunannya mempelajari
agama, Empu Bekeljati menjadi kesayangan gurunya. Dan, karena lantang
suaranya, dan fasih lafalnya, Sunan Bonang lalu menugasi Empu Bekeljati
menjadi mua’zin atau penyeru azan. Dalam logat Jawa, kata mua’zin sering
diucapkan mua’din, dan lama kelamaan menjadi modin. Begitulah, sejak
saat itu Bekeljati lebih dikenal dengan sebutan Empu Modin.
Bagi mereka yang percaya akan tuah, keris buatan Empu Modin dikenal
sebagai keris yang memiliki angsar sabar, pemaaf, membuat pemiliknya
menjadi luwes dalam pergaulan dan disayang orang sekelilingnya. Selain
itu, keris karya Empu Modin juga bisa diharapkan mempermudah pemiliknya
mencari rejeki.
Walaupun dibuat orang yang sama, ketika masih dikenal sebagai Empu
Bekeljati, keris buatannya lebih ramping dibandingkan sewaktu ia sudah
dikenal dengan panggilan Empu Modin. Selain itu, keris Empu Bekeljati
tampilan pamornya lebih mubyar. Jika keris itu memakai luk, maka luknya
agak tanggung dan samar (kemba – Jw.). Kembang kacang-nya mungil, agak
kecil dibandingkan dengan ukuran bilahnya. Sogokan-nya dangkal dan
pendek. Bagian janur-nya dibuat tumpul.
Empu KI NOM,
Seorang empu yang terkenal pada zaman Agung Hanyokrokusumo di Mataram. Beberapa orang tua ahli keris menceritakan bahwa usia Ki Nom memang panjang sekali. Kata mereka, nama Ki Nom atau Pangeran Warih Anom, atau Ki Supo Anom justru adalah gelar dan nama pemberian Sultan Agung sebagai pernyataan kekaguman terhadap panjangnya umur empu yang terkenal awet muda itu.
Seorang empu yang terkenal pada zaman Agung Hanyokrokusumo di Mataram. Beberapa orang tua ahli keris menceritakan bahwa usia Ki Nom memang panjang sekali. Kata mereka, nama Ki Nom atau Pangeran Warih Anom, atau Ki Supo Anom justru adalah gelar dan nama pemberian Sultan Agung sebagai pernyataan kekaguman terhadap panjangnya umur empu yang terkenal awet muda itu.
Konon, umur Empu Ki Nom lebih dari 100 tahun. Jika cerita-cerita
mengenai dirinya benat, angka 100 itu masuk akal, karena Ki Nom
dilahirkan pada menjelang akhir zaman Majapahit, jadi kira kira tahun
1520 an. Padahal, tatkala Sultan Agung Anyokrokusumo mempersiapkan
penyerangan ke Batavia tahu 1626, Ki Nom masih mendapat tugas sebagai
salah seorang empu tindih, yang membawahkan 80 orang empu lainnya.
Berarti pada saat itu umurnya sudah 104 tahun!
Empu Supo Anom, yang nama kecilnya Jaka Supa sebenarnya adalah anak dari
Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu, yang hidup pada akhir zaman
Majapahit. Ibunya adalah putri kerabat kraton yang ‘dihadiahkan’ kepada
Empu Supa Mandrangi ketika pembuat keris terkenal itu diangkat sebagai
pangeran dengan gelar Pangeran Sedayu. (Ada cerita rakyat yang
menyebutkan bahwa putri keraton itu bernama Dewi Tatiban). Kakaknya,
satu ayah lain ibu, bernama Jaka Sura, juga seorang empu terkenal. Oleh
raja Majapahit terakhir Empu Jaka Sura diangkat menjadi adipati di
daerah Jenu, sehingga juga dikenal sebagai Empu Adipati Jenu.
Ki Nom sebenarnya hanya singkatan nama atau panggilan bagi Empu Pangeran
Warih Anom yang menguasai tanah perdikan (otonomi & bebas pajak) di
daerah Sendang. Itulah sebabnya ia juga dipanggil dengan gelar Pangeran
Sendang.
Tanda-tanda utama buatan empu Ki Nom adalah: Keris dan tombak buatan Ki
Nom selain indah selalu mempunyai penampilan dan yang memberi kesan
agung, anggun, mewah, berwibawa.
Ganja buatan Ki Nom, kebanyakan merupakan ganja wilut dan kelap lintah.
Sirah cecak-nya montok dan meruncing ujungnya, gulu meled-nya besar dan
kokoh. Ukuran panjang bilahnya sedang, lebarnya juga sedang, tetapi
tebalnya lebih dibanding keris buatan Mataram lainnya, terutama dibagian
tengah bilah. Bilah buatan Ki Nom selalu berbentuk nggigir lembu. Motif
pamornya biasanya rumit, halus, dan rapat serta rapi sekali
penempatannya. Besi yang digunakan, dua rupa. Bagian tengah yang
bercampur pamor warna besinya hitam keabu-abuan atau hitam
keungu-unguan, tetapi dibagian pinggir hitam legam.
Bagian kembang kacang-nya dibuat seperti gelung wayang, tetapi berkesan
kokoh, dan kalau diamati dari sisi atas akan tampak ramping. Jalen-nya
kecil, lambe gajah-nya pendek. Blumbangan-nya dangkal, penuh dengan
pamor. Sogokan-nya juga dangkal dan menyempit ke arah ujung. Janur-nya
menyerupai batang lidi.
Salah satu keris adikarya hasil tempaan Ki Nom yang masih dapat
disaksikan hingga saat ini adalah keris berdapur Singa Barong yang
dijadikan cenderamata lambang persahabatan antara Kasultanan Mataram
dengan Kesultanan Jambi. Keris itu bernama Si Ginje, dan saat ini
tersimpan di Museum Pusat di Jakarta.
Bilah keris adalah hasil karya
seniman pembuatnya. Jika keris itu tergolong adikarya (masterpiece),
maka seniman pembuatnya diberi gelar empu.
…………………..
…………………..
MPU PANGERAN SEDAYU
…………………..
…………………..
Keris buatan Pangeran Sedayu selalu matang tempaan, besinya berwarna
hitam kebiruan, nyabak, dan berkesan basah. Pamornya lumer pandes dan
hampir selalu merupakan pamor tiban.
…………………..
Secara keseluruhan penampilan keris buatan Pangeran Sedayu membawakan karakter seorang ksatria yang anggun, berwibawa, tetapi tidak galak, wingit, tetapi menyenangkan.
…………………..
Secara keseluruhan penampilan keris buatan Pangeran Sedayu membawakan karakter seorang ksatria yang anggun, berwibawa, tetapi tidak galak, wingit, tetapi menyenangkan.
Pendek kata, segalanya dibuat serasi. Seluruh bagian keris termasuk
ricikan-nya digarap dengan cermat, rapi, ayu, dan sempurna. Begitu
rapinya keris buatan Pangeran Sedayu, sampai sampai tepi bagian
sogokan-nya berkesan tajam. Oleh kebanyakan pecinta keris, buatan
Pangeran Sedayu dianggap sebagai keris yang paling sempurna dari semua
keris yang ada.
Salah satu tanda yang mencolok dari keris buatan Empu Pangeran Sedayu adalah besinya yang selalu merupakan jenis pilihan, dan matang wasuhan.
Salah satu tanda yang mencolok dari keris buatan Empu Pangeran Sedayu adalah besinya yang selalu merupakan jenis pilihan, dan matang wasuhan.
…………………..
JAKA SURA
…………………..
…………………..
Bilah keris buatan Empu Jaka Sura agak tebal, penampilannya
meyakinkan. Kalau membuat pamor ruwet (muyeg – Bhs. Jawa). Secara
keseluruhan keris buatan Empu Jaka Sura menampilkan karakter berwibawa,
terampil, gagah, dan meyakinkan.
…………………..
…………………..
Empu Ki Jigja
…………………..
…………………..
Tanda-tanda keris buatan Empu Jigja adalah, panjang bilahnya sedang
(menurut ukuran rata-rata keris tangguh Majapahit), tetapi menampilkan
kesan kekar, namun luwes. Sogokan dan blumbangan-nya dalam, kembang
kacang-nya kokoh. Greneng atau ri pandan keris buatannya jelas dan
relatif besar.
…………………..
…………………..
Empu Modin
…………………..
Keris hasil karyanya berukuran sedang panjangnya, tetapi agak tebal dan lebar. Dibandingkan dengan keris tangguh Tuban lainnya, karya empu Modin lebih tunduk ke depan. Besinya tampak keras dan kenyal, berwarna keabu-abuan, memberi kesan ‘mentah’. Pamor yang sering digunakan adalah Wos Wutah dan Ngulit Semangka.
…………………..
Keris hasil karyanya berukuran sedang panjangnya, tetapi agak tebal dan lebar. Dibandingkan dengan keris tangguh Tuban lainnya, karya empu Modin lebih tunduk ke depan. Besinya tampak keras dan kenyal, berwarna keabu-abuan, memberi kesan ‘mentah’. Pamor yang sering digunakan adalah Wos Wutah dan Ngulit Semangka.
…………………..
Empu KI NOM,
…………………..
…………………..
Tanda-tanda utama buatan empu Ki Nom adalah: Keris dan tombak buatan
Ki Nom selain indah selalu mempunyai penampilan dan yang memberi kesan
agung, anggun, mewah, berwibawa.
Ganja buatan Ki Nom, kebanyakan merupakan ganja wilut dan kelap lintah.
Sirah cecak-nya montok dan meruncing ujungnya, gulu meled-nya besar dan
kokoh. Ukuran panjang bilahnya sedang, lebarnya juga sedang, tetapi
tebalnya lebih dibanding keris buatan Mataram lainnya, terutama dibagian
tengah bilah. Bilah buatan Ki Nom selalu berbentuk nggigir lembu. Motif
pamornya biasanya rumit, halus, dan rapat serta rapi sekali
penempatannya. Besi yang digunakan, dua rupa. Bagian tengah yang
bercampur pamor warna besinya hitam keabu-abuan atau hitam
keungu-unguan, tetapi dibagian pinggir hitam legam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar