Wayang Kumbokarno

Wayang Kumbo Karno Lebar 1,2 M, Tinggi 1,8 M
Makna Simbolis dari Kumbokarno adalah ksatria yang sangat cinta akan tanah air dan bangsanya. Cocok untuk dijadikan suri tauladan saat negeri ini juga sedang bermasalah dengan negeri tetangga hahaha.

Ini hanya secuil kisah tentang raksasa. Raksasa buruk rupa bernama Kumbo Karno. Ia memang buruk rupa, tetapi berhati emas. Eeeh kok emas, ya, emang penah membedah hatinya? Ya belumlah, tapi kisah fiksinya begitulah. Kombokarno berjuang demi negaranya, Alengkadiraja, sampai titik darah penghabisan. Demi tanah air, bukan demi Sang Raja yang notabene kakak kandungnya sendiri bernama Rahwana alias Dasamuka. Konon Rahwana dikenal sebagai raja yang zalim, lalim, plus perusak pagar ayu, dan angkara murka.

Rahwana juga dikenal sangat korup, tiran dan semaunya sendiri. Makanya tak aneh kalau kemudian negerinya carut marut. Bencana datang bertubi. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menjadi-njadi. Makelar kasus di mana-mana. Mafia bukan hanya bercokol di ranah penegakan hukum, tapi juga di seluruh lini birokrasi. Penyakit lumpuh layu, polio, busung lapar, nggak usah ditanyakan lagi, mewabah ke mana-mana. Praktek hukum dan politik kayak pasar sapi. Semua itu terjadi karena konsisten menaati UUD (eeh- bukan Undang-udang Dasar atawa konstitusi lho), Lantas apa?.. Apa lagi kalau bukan akronim dari “Ujung-ujungnya Duit” (UUD). Hakim jaksa, polisi dan birokrasi gampang disuap (bukan institusinya lho, tapi hanya oknum..)

Suatu ketika di Alengkadiraja terjadi ontran-ontran, geger besar. Negerinya jadi sasaran amuk bala pasukan kera. Ini terjadi setelah Rahwana menculik permaisuri Raja Pancawati, Prabu Rama, yang bernama Dewi Shinta. Bala tentara kera dipimpin komandan monyet putih bernama Hanoman. Kera putih yang punya nama lain Wanara Seta ini sangat ditakuti oleh Rahwana. Alengka pun gonjang-ganjing. Rahawana berkali-kali menyelenggarakan rapat mendadak dengan para pembantu dan menteri-menterinya. Pelbagai usulan muncul. Salah seorang adik Rahwana, Gunawan Wibisana mengingatkan kakaknya, agar bertobat. Bila perlu melakukan gerakan tobat nasional, supaya situasi negeri tidak kian semrawut.

Alih-alih mendengar saran adiknya, Rahwana malah mengusir Wibisana. “Minggat..! Kamu sudah kehilangan nasionalieme,” bentak Rahwana sambil menuding-nuding Wibisana. Winisana pun minggat dan membelot ke pihak musuh, bergabung dengan Prabu Rama.

Ketika akhirnya pasukan kera putih benar-benar mengobrak-abrik Alengka, Rahwana panik. Ia menjadi ingat adiknya yang seorang lagi, Kumbokarno. Ia adalah sosok rakasasa yang besar dan suka makan. Tetapi sudah lama ia mengingkir dari bumi Alengka yang penuh kezaiman. Kumbokarno bertapa tidur. Karena kegentiangan yang mendesak, Rahwana berusaha membangunkan paksa dengan segaka cara. Rahwana mengiming-imingi Kumbokarno dengan mengajak makan-makan besar. Pokoknya pesta, begitulah.Mendengar tawaran makan, Kumbokarno bergegas bangun. Dan, benar juga, disantapnya seluruh makanan yang sudah disiapkan oleh kakaknya.

Namanya juga taktik alias akal bulus, Rahwana, jelas tidak menggratiskan jamuan terhadap adiknya itu. Usai makan, Kumbokarno diminta mendukung rencana Rahwana untuk melawan pasukan kera putih. Kumbokarno pun kaget bukan kepalang. Karena secara prinsip sesungguhnya ia tak pernah setuju dengan sikap dan perilaku kakaknya yang angakara murtka itu. Ia baru tersadar, rupanya makanan yang baru saja disantap, tak lebih hanyalah perangkap alias suap. Tak pelak, Kumbokarno memuntahkan seluruh makanan yang sudah ditelannya. Serta merta ia menolak ajakan kakaknya, karena dianggap berada pada posisi yang salah. Ia marah besar.

Di antara raksasa, Kumbo karno memang termasuk raksasa yang taat hukum. Ia anti sua, jujur dan berpegang pada nurani dan keadilan. Kalau ia menjadi penegak hukum atau anggota KPK mungkin cocok. Kumbokarno pun kembali meninggalkan Alengka. Ia marah besar atas sikap dan perilaku kakaknya yang semaunya sendiri dan sering melanggar hukum. Namun Kumbokarno tetap gelisah. Hatinya merasa teriris-iris, ketika mendengar bahwa rakyat Alengka yang tak berdosa ikut binasa menjadi korban keganasan pasukan kera. Kesadaran Kumnokarno sebagai warga negeri yang dilanda kecamuk bencana pun bangkit. Maka ia bangun dan keluar dari persembunyiannya.

“Amuk, suromroto, joyomroto. Saya akan berperang ke medan laga. Bukan untuk membela kakak saya yang angkara murka, tetapi saya membela tanah air saya,” sumpahnya, mengetarkan jagat Alengka.

Pasukan Rama porak poranda dibuatnya. Rama keder, nyalinya mulai ciut. Namun dengan senjata pamungkasnya, Rama berhasil menghujani panah Kumbokarno. Pertama, mengenai tangan kiri Kumbokarno, putus. Lalu tangan kanannya, putus pula. Dadanya, kakinya, dan berbagai organ tubuh penting lainnya. Akhirnya mengenai leher. Kepala Kumbokarno pun terlepas dari badannya. Kendati begitu, Kumbokarno si raksasa sakti itu terus maju. Semangatnya tak pupus sedikitpun, sampai akhirnya badan besarnya limbung karena lehernya menganga. Tubuhnya penuh luka. Kumbokarno pun gugur di medan laga. Bibirnya menyungging senyum. Dan, konon menurut cerita ki dalang, arwah Kumbokarno terbang direngkuh sanga malaitak menuju nirwana. Kumbokarno dinyatakan secara sah dan meyakinkan, sebagai pejuang yang tulus, tanpa pamrih, membela tanah airnya sampai hembusan nyawa terakhir. Sayangnya, Kumbokarno itu Cuma wayang..? Kalau saja ia tokoh beneran dan hidup di negeri ini, dan jumlahnya banyak, sangat boleh jadi tak perlu KPK, Polisi, Jaksa, Menkeu dan lain-lain, bersusah payah gembar-gembor anti korupsi.. haa..haa.. haa. Bencana pun nggak perlu datang bertubi..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar